Di sebuah hutan belantara, hiduplah sepasang kakak beradik miskin, yang tinggal di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Satu-satunya harta yang di miliki kakak beradik itu hanyalah berupa ladang yang merupakan peninggalan dari orangtuanya. Dari ladang itulah kakak beradik tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang di jualnya ke kota.
Pada suatu hari, Yuya, kakak beradik itu menemukan sebuah batu emperal berwarna merah darah yang di temukannya saat meencangkul di ladang. Tiba-tiba batu emperal tersebut bercahaya memancarkan sebuah sinar menyilaukan. Yuya berteriak histeris. Apa yang terjadi?
Kemudian mata Yuya berubah menjadi merah. Dia menampakan senyum pembunuh. Auranya mematikan. Mai, adik Yuya tersebut tak bisa berkata-kata. Dia memikirkan apa yang sedang terjadi pada kakaknya. Lalu, Yuya mendekati adiknya itu. Yuya tiba-tiba mencengkeram leher adiknya. Mai hamper kehabisan nafas. Namun selamat, dia dapat meloloskan diri dari sang kakak yang sepertinya kerasukan ‘sesuatu’. Hal gaibkah?
Mai ketakutan setengah mati. Dia berlari dan terus berlari. Dia menangis memikirkan kakaknya yang tiba-tiba ingin membunuhnya.
Di tengah keheningan malam, Mai terus menangis. Dia menangis di sebuah pohon rindang yang sangat lebat. Mai meringkuk di sana sendirian. Mai kelaparan.
Rupanya hal ini membuat peri hutan prihatin. Dia berusaha menolong anak kecil yng manis dengan mata hijau itu. Di dekatinyalah Mai.
“Anak manis! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?” Tanya peri hutan.
Mai terkejut melihat sosok cemerlang di hadapannya, sambil menjawab dia tergagap, “ka… ka… kau siapa???”
“Kau tidak tau aku ya? Aku peri hutan yang terkenal itu! Aku yang bertugas menjaga hutan ini!! Aku Tinkerbelle!!!” katanya percaya diri.
“Tidak mungkin!! Kau hantu…. Kau pasti hantu!!!!”
Mai langsung melemparinya dengan ranting dan daun-daun di sekitarnya.
Peri hutan tersinggung dengan sikapnya, “Hei… hei… jangan seperti itu anak manis… aku benar-benar peri hutan! Kau pasti tidak percaya gara-gara nama ku… dari awal memang aneh kalau aku membubuhkan namaku seperti itu…. Panggil aku peri hutan saja…!! Aku ingin membantumu!”
Peri hutan menjawabnya dengan bijak. Dia memeluk Mai dengan sangat lembut untuk menenangkan gadis itu.
“Kau benar-benar peri hutan??”
“Kau tidakpercaya???”
Mai kemudian langsung mengangguk. Dia percaya bahwa yang memeluknya sekarang peri hutan.
“Apa yang menjadi masalahmu, nak?”
Mai menangis seketika, tak tahan dengan cobaan yang di terimanya.
“Kakak… kakak… berubah menjadi monster!!”
“Jadi monster????”
“Yah peri…. Setelah kakak menemukan batu emperal bewarna merah darah…. Tiba-tiba mata kakak berubah menjadi merah… dan kakak ingin membunuhku!!”
“Batu emperal bewarna merah darah?!”
“Yah, kenapa peri?”
“Sepertinya aku tau masalahmu! sang iblis mulai bergerak. Mai berhati-hatilah!” kata peri hutan memperingatkan Mai.
“Ke…ke…kenapa??”
“Tubuh kakakmu telah di pinjam sang iblis!!”
“Apa? Bagaimana bisa?? Aku harus menolongnya peri! Kakaklah orang yang paling beharga dalam hidupku!”
“Tenang nak, tenang!! Masih ada harapan! Jika kau memang benar ingin menolongnya, hanya ini satu-satunya cara yang bisa kau lakukan. Berjalanlah kea rah utara, di sana ada tabib bernama Yu Chin. Yu Chin akan menjelaskan apa saja hal yang dapat mengalahkan sang iblis!”
“Baik aku pergi sekarang!!!”
“Berhati-hatilah nak, sangat berbahaya! Aku akan memberimu sebuah tongkat sihir. Ada kemungkinan kau akan di serang oleh pengikut iblis!!”
“Terima kasih peri!!”
Mai pun pergi menuju arah utara ke tempat tabib Yu Chin.
“Cepatlah nak, tolong kakakmu! Jika tidak, dia akan menjadi pengikut iblis selamanya! Cepat, sebelum posisi matahari, bulan, dan bumi sejajar tiap 500 tahun sekali. Saat itu, terjadi gerhana bulan dan matahari secara bersamaan! Kakakmu tidak akan selamat jika kau tidak cepat!” gumam peri hutan mencemaskan Mai.
Mai terus berjalan menyusuri suramnya hutan. Mai tak tahu harus pergi ke mana, yang Mai tahu hanyalah pergi ke arah utara dan menemui tabib Yu Chin. Tapi siapa itu tabib Yu Chin dan dimana dia tinggal dia sendiri tidak tau.
Mai mulai merasa lapar. Mai lunglai di tengah hutan.
PLUKK . . .
"aw .... Siapa itu?"
Seseorang melempar Mai dengan buah rambutan dari balik pohon.
"Siapa kau?!" Tanya Mai lagi.
Suara air di danau membuat tabib Yu Chin yang tertidur terbangun. Tabib Yu Chin menoleh ke arah bawah dan tersenyum, "Selamat pagi" katanya pada Less, seekor kucing bewarna cokelat dan bergaris putih.
Tabib Yu Chin menyeduh teh hangat di cangkir dan meminumnya. Less melingkar di kakinya, "Ini belum waktumu makan" kata tabib Yu Chin.
Less pun mengeong dan pergi menjauh. Tabib Yu Chin melihat ke atas, "Entah kenapa, rasanya akan terjadi sesuatu yang lumayan serius"
"kau laparkan?!" kata seseorang yang melemparkan rambutan tadi. Dia keluar dari blik pohon.
"Ka . . kau . . . siapa?!" kata Mai ketakutan.
"kenapa takut begitu sih?! Aku orang yang memberimu rambutan!!"
"Tidak . . Itu racun . . !"
"Sembarangan . . . Nih aku makan ya . . ??!"
1 detik . .
2 detik . .
3 detik . .
Tidak terjadi apa-apa.
2 detik . .
3 detik . .
Tidak terjadi apa-apa.
"Lihat! Aku tidak apa-apa kan!! Jangan biasakan dirimu untuk berpikiran bahwa semua orang itu jahat!" ktanya memberi nasihat.
Dia mengacak-ngacak rambut Mai.
Mai menatapnya sangat tajam.
Mai menatapnya sangat tajam.
"Jangan seperti anak kecil yang main hakim sendiri... atau kau memang anak kecil" katanya lagi pada Mai.
Mai tampak marah, laki-laki itu, Akito, menurunkan tangannya dari rambut Mai. Tangannya pun turun ke arah wajah Mai dan menarik kedua pipi Mai, "Jangan cemberut! Itu membawa bencana, senyum!!" kata Akito mempermainkan Mai.
Mai melepaskan tangan Akito dari pipinya, "Apa yang kau mau sbnarnya?!" kata Mai dingin.
"Aku hanya ingin membantumu anak kecil . . Ku lihat kau sudah mau pingsan kelaparan sendirian di tengah hutan . . !" jawab Akito santai.
"Tidak usah repot-repot membantuku!"
Mai merampas rambutan yang ada di kantong Akito. Mai langsung memakannya seperti orang yang belum makan 5 bulan.
Akito mementung kepala Mai dengan ranting kecil, "Dasar anak kcil, rambutannya di makan juga kan!"
Mai tidak memperdulikannya. Mai terus melahap rambutan itu.
"Apa yang di lakukan anak perempuan begini di tengah hutan?!"
"Itu bukan urusanmu, paman??!" kata Mai kasar.
"Haaah . .?? Paman?? Aku masih 19 tahun!" jawabnya syok setengah mati.
"Tapi kau terlihat seperti 34 thun . . . !!!"
"Apa kau bilang? Bisa sopan sedikit, tidak?!!"
"Itu bukan urusanmu, paman??!" kata Mai kasar.
"Haaah . .?? Paman?? Aku masih 19 tahun!" jawabnya syok setengah mati.
"Tapi kau terlihat seperti 34 thun . . . !!!"
"Apa kau bilang? Bisa sopan sedikit, tidak?!!"
Aura hitam tiba-tiba menyelimuti sekeliling mereka. Seketika, terdengar seseorang tertawa. Dia muncul.
"Ahahaha… Aku merasakan aura aneh . . . !! Kau . . ” tiba-tiba dia menunjuk Mai, “Kau punya tongkat sihirnya kan . . ?!!"
Mai terkejut. Mai tersedak buah rambutan.
"Penyihir . . . !! Pengikut sang iblis!" kata Akito.
"Kau tau tentang sang iblis?!" Mai terkejut mendengar Akito mengatakan itu. Dia menyuruh Mai diam.
"cih, , di saat seperti ini Myuta tidak ada!!" gumam Akito kesal.
"Siapa Myuta?" kata Mai penasaran.
"Teman seperjalanku!" jawab Akitosingkat, "Gadis kecil berlindung di belakangku!" perintah Akito pada Mai.
"Enak saja . . ! Aku juga bisa melawannya!"
"Kau ini . . . "
"Penyihir . . . !! Pengikut sang iblis!" kata Akito.
"Kau tau tentang sang iblis?!" Mai terkejut mendengar Akito mengatakan itu. Dia menyuruh Mai diam.
"cih, , di saat seperti ini Myuta tidak ada!!" gumam Akito kesal.
"Siapa Myuta?" kata Mai penasaran.
"Teman seperjalanku!" jawab Akitosingkat, "Gadis kecil berlindung di belakangku!" perintah Akito pada Mai.
"Enak saja . . ! Aku juga bisa melawannya!"
"Kau ini . . . "
"Hei… Hei… Kalian berdua… kalian lupa denganku ya! Hai pemuda, betul sekali… Aku pengikut iblis... Lebih tepatnya pengikut ketuaku sih…!" kata penyihir itu santai.
Tiba-tiba, seseorang muncul lagi.
"Dasar kau Kumi… Aku ketuanya… Harusnya aku duluan yang memperknalkan diri… Kau Seenaknya mendahuluiku!!" omelnya.
"Hai kau… Mau apa kau pengikut sang iblis datang mengganggu kami?!" bentak Akito.
"Mau apa?! Aku mau tongkat sihir yang di miliki anak itu!!" jawab penyihir.
Mai berpikir keras. Tongkat sihir? Ah… Yang di berikan oleh peri hutan!
Mereka smua memandang Mai lekat. Mai merasa ketakutan. Peri hutan, kenapa jadi begini? Ada apa dengan tongkat sihir ini??
"Perkenalkan aku penyihir pengikut setia sang iblis!! Namaku Mily, penyihir dari Inggris…! Salam kenal !!"
"Kau tidak usah repot-repot memperkenalkan diri, tante!"
"Tante. . . !!!??"
Penyihir itu marah. Dia menyerang Akito. Pertarungan di mulai.
Mai ketakutan setengah mati. Mai mulai menggigiti kuku-kuku jarinya. Mai belum pernah bertarung sebelumnya. Aduh… Bgaimana ini? Mai tidak mengerti cara menggunakan tongkat sihir tersebut.
Mily menyerang Akito dengan keras. Akito terlempar ke pohon sampai pohon itu tumbang, Akito pun tak bergerak.
"Satu jatuh..." kata Mily dengan wajah senang.
"Hei kau!!! Apa-apaan itu? padahal tadi kau menyebalkan ternyata sekali serang langsung pingsan, PAYAH!!!" teriak Mai pada Akito.
"Tak perlu khawatir... kau akan menyusulnya!" kata Mily berjalan mendekati Mai. Mai pun mulai ketakutan, saat Mily mulai mendekat, Akito pun memegang bahu Mily. Mily segera berbalik, Akito berbicara dengan suara kecil yang tak terdengar oleh Mai, tiba-tiba Mily pun terlempar sepertiku tadi.
“Siapa yang kau panggil payah?" kataku pada Mai. Akito menghapus darah di dekat mulutnya, "Aku tahu kau masih sadar dari serangan tadi, kenapa kau menyerangku?" Tanya Akito pada Mily
"Karena kau melindungi orang payah... Orang yang tidak bisa menggunakan sihir!!" jawab Mily.
Mily mengucapkan beberapa sihir pada Mai. Mai tiba-tiba terangkat tinggi ke udara. Di hempaskannya Mai ke tanah, "Uhukk..." Mai mengeluarkan darah dari mulutnya.
Keadaan Akito dan Mai semakin terdesak waktu itu. Mily berjalan mendekat ke Mai dan berusaha mengambil tongkat itu dari tangan Mai.
"Aku tak kan menyerahkannya kepadamu begitu saja.!!" bentak Mai.
"Sudahlah, anak kecil, kau sudah tak punya apa-apa lagi."
Mily mulai mengucapkan beberapa mantra dan sekejap Mai muntah darah oleh tekanan besar yang menyerang perutnya. Kesempatan itu digunakan Mily untuk mengambil tongkat sihir itu.
JLEEP...!
Tiba-tiba sebuah anak panah menembus angin dan menancap tepat di hadapan Mily. Penyihir itu terkejut dan mendengar suara anak laki-laki yang memanggilnya.
"Hei.. Penyihir reot, kalau mau berurusan dengan temanku, hadapi dulu aku..!" ujar seorang anak laki-laki dengan membawa panah dan tatapannya dingin.
"Apa kau bilaa...ang..??!" penyihir itu sangat marah mendengar perkataan anak itu.
"Myuta! Kemana saja kau?!" omel Akito.
"Memburu pisang. Aku juga membawakan banyak untukmu," ujar Myuta santai.
"Bodoh..!!! Sekarang bukan waktunya untuk itu! Cepat tolong kami!" omel akito (lagi).
"Kami?! Huh, maaf ya, Akito, pahlawan selalu datang terlambat" kata Myuta.
"Da..sar pah..lawan ke...si..angan.." kata Mai terbata.
Myuta pun menembakkan lagi anak panahnya, tetapi kali ini Mily menangkisnya menggunakan sihir angin.
"Kau, beraninya menyerangku, akan ku habisi kau duluan!" kata Mily dengan tatapan dingin. Pandangannya pun tertuju pada Myuta. Gawat… bukan dengan jarak jauh, tapi jarak dekat.
"Myuta... Lemparkan Kazehana!!" Nama katana Akito.
"Eh?? kenapa?" tanyanya dengan tampang bodoh.
"Jangan banyak tanya!!! Berikan sja..!!" teriak Akito. Mily yang merapal mantra pun hampir menyelesaikan mantranya.
"Malas ah.. kau pikir aku tak bisa melawannya?" kata Myuta dengan kepercayaan diri yang tinggi, atau haruskan itu kita sebut dengan sebuah kebodohan.
"Baiklah... kalau kau tidak memberikannya, kau akan ku sumpal pakai rambutan yang ku petik tadi" kata Akito dengan tampang kejam.
"Siap! Akan segera ku lempar!" kata Myuta dengan sikap yang berbeda 180 derajat.
Myuta melemparkan Kazehana pada Akito, pada saat itu juga Mily selesai merapal mantranya. Bola api yang sangat besar pun muncul di arah Myuta. Saat Mily ingin meluncurkannya Akito pun bertindak, "Kamaitachi..." Bola api itu pun tercabik-cabik oleh angin. Mily pun terkejut dan mlihat ke arah Akito.
"Mari mulai, ronde ke-2.." kata akito sambil memegang Kazehananya.
"Kazehana....." kata Akito.
Mai terkesima melihat pertarungan mereka. Menakjubkan. Sepertinya, Mai mulai paham cara menggunakan tongkat sihir ini. Mai berpikir spepertinya harus berterima kasih pada Mily yang secara tidak sengaja mengajariku menggunakan tongkat sihir. Mai berusaha ikut membantu.
"abra kadabra!!" kata Mai sambil mengarahkan tongkat sihirnya ke Mily.
singggggggg.........
"KOK TIDAK TERJADI APA-APA SIIIIHHH!" geram Mai.
Ku lihat Mily hampir terkapar, sementara asistennya pergi meninggalkannya duluan guna menyelamatkan diri. Saat itu juga Myuta teman Akito menarik tangan Mai.
"Hentikan usahamu yang sia-sia itu!! Kita kabur sekarang!" kata Myuuta.
"Kazehanaku bisa menahannya!!"
Kami pun kabur begitu saja meninggalkan penyihir Mily.
by : Hoshi Writers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar