“Selamanya… Aku akan melindungimu. Walaupun harus mengorbankan hidup ku, jiwaku, ataupun perasaanku, aku akan selalu berusaha melindungimu dengan seluruh kemampuanku. Karena itu, teruslah hidup. Hiduplah dengan bahagia.”
“Tapi… Aku tidak akan pernah bisa bahagia jika kau mengorbankan itu semua hanya untuk diriku.”
-Chapter 2-
“Hey, aku tau kau ingin menyamar agar tidak ada orang yang mengenalimu. Tapi…” Yuuta mengerutkan dahinya. “Kau tidak harus berpakaian seperti itu! Itu malah akan membuat orang-orang makin mencurigaimu tau!” bentak Yuuta sambil menunjuk pakaian-pakaian yang dikenakan Valeriana. Sebuah mantel hitam bertudung juga kaos dan celana panjang yang juga berwarna hitam, lalu kacamata hitam dan masker hitam yang menutupi wajahnya, lengkap dengan sepatu boot hitam di kakinya. ==b
“Juga kenapa semuanya harus berwarna hitam??” Valeriana menutup telinganya mendengar teriakan Yuuta.
“Ha-habis, mau bagaimana lagi? Aku tidak mengerti apa pun tentang hal seperti ini…” ucap Valeriana cemberut. Yuuta hanya menghela napas dan menatap tumpukan pakaian di meja yang berada di sebelah Valeriana. Sepertinya gadis itu sudah mencoba berbagai macam pakaian saat ia pergi mencari makanan tadi. Yuuta kembali menatap Valeriana yang sedang berputar-putar di depan cermin mencari keanehan dari pakaian yang ia kenakan. Dan Yuuta kembali menghela napas.
“Lepaskan kacamata dan masker hitam ini. Itu akan membuatmu aneh. Jika kau ingin menyamarkan wajahmu, cari saja kacamata biasa. Jika tidak ingin memperlihatkan rambutmu, kau bisa memakai topi dan menggulungkan rambutmu ke dalamnya atau setidaknya ubah model rambutmu dengan mengikatnya atau mengepangnya. Lalu cari pakaian yang berwarna lain. Jangan kau kira orang tidak akan mencurigaimu jika kau memakai yang serba hitam. Justru orang-orang akan lebih penasaran dan berbalik malah mencurigaimu. Dan pakai sepatu yang biasa saja. Memangnya kau mau pergi ke sawah sampai harus memakai boot?” ucap Yuuta sambil memilih-milih beberapa pakaian yang dikiranya cocok untuk Valeriana. Sedangkan gadis itu hanya mendengarkan setiap perkataan Yuuta dengan seksama sambil menggerutu.
“Hoee, maafkan aku. Aku tidak pernah bisa memilih baju yang benar.” Valeriana langsung melepas kacamata dan masker yang ia pakai dan melemparnya ke atas meja.
“Hah. Kau memang selalu seperti itu! Pakaian saja sampai harus dipilihkan oleh pelayan!” kata Yuuta saat ia mengambil sebuah mantel berwarna biru langit lalu gerakannya terhenti ketika menyadari apa yang baru saja dikatakannya itu. Ia menoleh ke arah Valeriana yang sedang memandangnya sebal.
“Hee… Kau berbicara seperti itu kepadaku seolah-olah kau sudah lama mengenalku saja. Asal kau tau ya, aku ini tidak seburuk yang kau pikirkan! Walaupun aku tidak pandai memilih baju, tapi aku ini hebat dalam hal memilih makanan!” Valeriana berkata dengan tersenyum bangga sambil berkacak pinggang memamerkan kehebatannya yang sama sekali tidak penting. Yuuta memegang kepalanya, pusing dengan hal yang tidak seharusnya ia khawatirkan. Ia pun melepaskan mantel biru langit yang tadi diambilnya dari hanger lalu melemparkannya ke Valeriana hingga mantel itu menutupi kepalanya.
“Aduh! Jangan sembarangan melempar sesuatu padaku dong!” protes Valeriana kesal setelah ia berhasil melepaskan benda yang menutupi kepalanya itu.
“Jangan cerewet. Coba mantel itu. Aku mau keluar mencari minuman dulu. Sebaiknya kau sudah menyelesaikan urusanmu disini saat aku kembali nanti.” Yuuta berbalik ke arah pintu keluar dan langsung meninggalkan Valeriana yang sedang kesal begitu saja. Di luar, Yuuta segera berjalan mencari sebuah kedai kopi yang terdekat sambil memikirkan kembali perkataan yang diucapkan Valeriana tadi. “Seolah-olah sudah lama kenal ya. Dasar bodoh.” gumam Yuuta sambil merapatkan jubahnya. Kemudian mata silvernya menangkap sesosok yang tidak asing baginya di depan sebuah restoran di ujung jalan kota yang sepi itu. “Dia…”
***
Seorang gadis berambut hitam pendek memandang sebuah poster buronan yang tertempel di sebuah papan. Gadis itu mengenakan kaos hitam panjang yang menutupi lehernya dengan blazer berwarna coklat tua di luarnya. Penampilannya sekilas seperti seorang pemusik dengan tas gitar yang besar tersandar di punggungnya. Poster yang dipandanginya itu memperlihatkan wajah seorang pria dengan sebuah bekas luka panjang di pipi kirinya. Setelah matanya yang berwarna kuning madu itu puas memandangi poster tersebut selama beberapa menit, tangannya terangkat dan mengambil poster itu, menyimpannya dalam saku celananya. Lalu tangannya yang lain mengambil sebuah notes kecil dari kantung sakunya yang satu lagi dan kemudian menatap deretan angka yang tertulis dalam notes itu. Ia menghela napas panjang dan mengeluh pelan. “Haah… Malas sekali. Kalau bukan karena keuangan ku yang menipis, aku lebih memilih bersantai dan membaca buku yang baru ku beli kemarin. Cih.”
“Hoy Chazz!! Lagi-lagi kau mengincar buronan yang sama ya? Ah sial!” seorang pemuda berambut coklat berlari ke arah gadis itu dan kemudian berhenti di depan papan daftar buronan yang tadi dipandangi oleh gadis bernama Chazz itu. Sedangkan Chazz hanya menjulurkan lidahnya ke laki-laki yang berada di sampingnya itu.
“Payah. Dasar lamban.” ucap Chazz mengejek temannya itu.
“Apa katamu? Kau bilang seorang Ao Asagi ini lamban?? Kalau begitu ayo kita buktikan siapa yang lebih lamban dengan lomba lari!” pemuda bernama Ao itu langsung menantang Chazz dan mengepalkan tangan kanannya dengan semangat. Namun Chazz tidak mengacuhkannya dan hanya membalikkan badannya memunggungi Ao. Ia menoleh pada Ao lalu tersenyum mengejek dan berkata dengan keras. “Bisa turun harga diriku sebagai seorang anggota keluarga Wheeler bila menerima tantangan dari orang seperti kau!” lalu Chazz berjalan menjauh dan meninggalkan Ao yang menatapnya terpana. Upz, bukan saatnya untuk terpana dengan gaya Chazz yang sok keren. Ao memindahkan tatapannya menuju sepatu yang dipakainya yang sudah dua tahun ini setia menemani. Mungkin sudah saatnya membeli sepatu baru, pikir Ao. Ia melepas salah satu sepatu miliknya itu dan memandang punggung Chazz yang mulai menjauh.
Bletak!!
Sepatu itu terlempar tepat mengenai kepala Chazz yang kini mengaduh kesakitan. Ia mencari-cari si pelaku yang telah melemparinya sepatu dekil itu dan dengan cepat menangkap sosok musuh bebuyutannya sedang menahan tawa melihatnya. Ao yang sudah merasakan hawa membunuh yang sangat kuat dari Chazz terpaksa harus menghentikan tawanya dan segera kabur untuk menyelamatkan diri.
“AO!! JANGAN LARI!!! AWAS KAU!!!”
***
“Kemana si Yuuta jelek itu?” gerutu Valeriana. Ia memutar-mutar tempat di sekitar toko pakaian itu tapi tidak juga menemukan pemuda berambut perak yang dicarinya dari tadi. Padahal gadis itu sudah selesai dengan segala pakaian yang memusingkannya. Ia kini memakai mantel biru yang dipilih Yuuta dengan kaos putih dan rok biru yang cocok dengan mantel yang dikenakannya itu. Ia menuruti saran Yuuta untuk mengubah model rambutnya dengan menguncirnya tinggi di belakang dan memakai sebuah kacamata biasa.
“Aku kan ingin tahu penampilanku masih aneh atau tidak. Lama sekali sih cuma mencari minuman saja. Huh, mana makanannya juga belum dimakan lagi. Aku terpaksa beli minuman sendiri gara-gara kehausan menunggunya tidak datang-datang.” Valeriana mengoceh sendirian dengan kesal sambil berjalan menuju sebuah kursi taman yang berada di depan sebuah air mancur kecil di tengah-tengah taman tersebut. Taman itu dekat dengan toko pakaian yang tadi Valeriana kunjungi sehingga gadis itu memutuskan untuk menunggu Yuuta disana.
“Aaargh, dasar menyebalkan! Biar takoyaki bagiannya kuhabiskan saja, aku kan sudah lapar menunggunya lama sekali dari tadi!” ucapnya kesal sambil membuka bungkusan makanannya begitu sudah mendudukkan dirinya di kursi taman itu.
Namun telinga Valeriana menangkap suara sebuah tawa kecil dari sebelah kanan dirinya. Ketika ia menoleh, gadis itu mendapati seorang pemuda duduk di sebelahnya sedang tersenyum geli melihat tingkah laku Valeriana yang sejak tadi marah-marah sendirian. Wajah Valeriana merona tipis menatap laki-laki di hadapannya ini. ‘Tampan’ pikir Valeriana. Pemuda berambut pirang itu mempunyai warna mata aquamarine yang sama dengan Valeriana. Setelah beberapa saat saling memandang, Valeriana baru menyadari apa yang terjadi. Wajahnya langsung berubah merah mengingat hal memalukan yang dilakukannya tadi. ‘Hoeeee, aku pasti terlihat aneh karena marah-marah tak jelas tadi!’ ucap Valeriana memaki-maki dirinya sendiri dalam hati.
“Ma-maaf! Kau pasti terganggu dengan ocehan tak jelasku tadi…” kata Valeriana pada laki-laki yang dianggapnya tampan itu sambil menutupi kedua pipinya yang memerah. Sedangkan pemuda itu hanya tersenyum mendengar suara Valeriana.
“Aku tidak terganggu kok.” ucap pemuda itu. Suaranya membuat Valeriana kembali menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingnya ini masih dengan wajahnya yang merah. ‘Suaranya juga bagus.’
“Namaku Hiromu.” laki-laki bermantel coklat muda itu kembali bersuara memperkenalkan dirinya pada Valeriana. Namun Valeriana menyadari perubahan tatapan orang bernama Hiromu itu yang menjadi sendu ketika menyebutkan namanya.
“Ah, aku Valeriana.” balas Valeriana yang langsung menyebutkan namanya tanpa pikir panjang.
“Kau, sejak kapan memakai kacamata?” tanya Hiromu. Eh? Valeriana menjadi panik saat mendengar pertanyaan itu. Apakah ia begitu aneh memakai kacamata?
“I-ini… Haha, su-sudah lama sih, tapi… itu…” Valeriana tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan. Merasa pasrah, akhirnya ia bertanya pada Hiromu. “A-apakah aku benar-benar terlihat aneh dengan kacamata ini ya??” Hiromu terlihat bingung dengan pertanyaan yang diajukan Valeriana. Sesaat ia terdiam, namun kemudian tertawa kecil.
“Tidak. Aku hanya bertanya karena sepertinya kau terlihat tidak nyaman memakainya, seperti orang yang baru memakai kacamata.” jawab Hiromu. “Sama sekali tidak terlihat aneh kok. Justru kau malah terlihat manis.” ucap Hiromu lagi dengan senyuman yang mampu membuat wajah Valeriana bersemu merah untuk ke sekian kalinya.
“Kau sendirian?” suara Hiromu membuyarkan lamunan sesaat Valeriana yang sudah mulai tidak bisa berkonsentrasi.
“Ti-tidak. Aku bersama seorang temanku, tapi sekarang aku tidak tahu orang itu kemana. Tadi dia bilang mau membeli minuman, tapi ditunggu dari tadi lama sekali! Memangnya kemana sih dia pergi membelinya?? Pasti dia nyasar! Atau belinya di seberang laut! Benar-benar cowok menyebalkan!” ujar Valeriana panjang lebar dengan kesal tidak peduli kalau ia sudah meremuk-remukkan kaleng minuman yang dipegangnya.
“Sepertinya kau dan temanmu itu akrab sekali.” sahut Hiromu.
“He? Aku dan Yuuta tidak akan mungkin akrab! Dia itu suka seenaknya.” kata Valeriana. Hiromu memperhatikan wajah Valeriana yang mulai mengerut ketika menyebut nama Yuuta.
“Jadi nama temanmu itu Yuuta? Teman sejak kecil ya?” tanya Hiromu.
“Bukan kok. Kami baru saja bertemu kemarin. Tapi dia langsung bergabung ikut begitu saja tanpa alasan yang jelas.” jawab Valeriana. Hiromu terlihat sedikit bereaksi pada jawaban Valeriana. Baru saja ia ingin mengajukan sebuah pertanyaan lagi, tiba-tiba tubuhnya membeku dan iris matanya berubah menjadi merah. Ia terpaku diam mendengar sebuah suara yang memberinya perintah di dalam kepalanya. Valeriana pun sedikit merasakan ada suatu perasaan yang aneh yang membuatnya sedikit merinding. Ia lalu menoleh pada Hiromu. Warna matanya sudah menjadi biru kembali sebelum Valeriana menyadarinya.
“Ada apa? Kau sakit? Wajahmu terlihat pucat.” ucap Valeriana yang sedikit cemas memperhatikan setitik keringat yang menetes di kening Hiromu dan wajahnya yang berubah pucat.
“Tidak. Aku tak apa-apa. Maaf, aku harus pergi sekarang.” Hiromu langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain, menghindari pandangan Valeriana. Ia pun beranjak berdiri dari kursi taman itu dan membuat Valeriana menatapnya heran.
“Kalau begitu, sampai bertemu lagi Hiromu.” Valeriana berkata dengan penuh harapan supaya ia bisa bertemu lagi dengan Hiromu suatu saat nanti. Hiromu pun akhirnya menatap Valeriana yang tersenyum padanya.
“Ya, sampai bertemu lagi nanti.” Hiromu berkata pelan namun cukup terdengar oleh telinga Valeriana. Kemudian ia pun berjalan menjauh meninggalkan Valeriana yang masih menatapnya sampai hilang dari pandangan.
“Hiromu ya…” bisik Valeriana dengan pelan. Tidak lama kemudian pipinya kembali merona. “Hwaaa… Dia benar-benar ramah dan baik… Keren… Cakep…” >//
“Benar-benar berbeda sekali dengan-”
Pletak!!
“Aww!! Sakit!” tiba-tiba Yuuta muncul dari belakang dan menjitak kepala Valeriana dengan gulungan kertas yang ia pegang. Benar-benar berbeda dengan yang satu ini…
“Yuuta! Kenapa kau menjitak kepalaku?? Apa kau tidak tahu pentingnya sebuah kepala bagi Valeriana Foliery haah??” teriak Valeriana kesal sambil mengelus-elus kepalanya yang sakit karena dijitak Yuuta itu.
“Justru aku menjitak kepalamu karena takut ada yang tidak beres dengan otakmu. Sedang apa kau berbicara sendirian disini? Apa kepalamu tadi terbentur sesuatu?” tanya Yuuta dengan wajah tak berdosa langsung duduk di sebelah Valeriana dan menyambar kotak takoyaki miliknya.
“Otak ku baik-baik saja! Otakmu yang tidak beres. Kemana saja kau dari tadi? Aku berputar-putar mencarimu tapi kau tidak ada. Katanya mau mencari minuman, tapi kau malah datang hanya membawa gulungan kertas tak penting untuk menjitak kepalaku!” Valeriana mulai kembali mengoceh sementara Yuuta masih asyik memakan takoyakinya.
“Ah, benar juga. Tadi kan aku sedang mencari minuman ya?” sahut Yuuta. Valeriana menatap Yuuta dengan malas. Hei… Lihat siapa yang otaknya tidak beres sekarang… pikir Valeriana. ==’
“Maaf maaf, tadi aku ada sedikit urusan. Aku jadi lupa semuanya.” Yuuta mengaku dengan cengiran di wajahnya, membuat Valeriana hanya menghela napas.
“Eeeh!! Itu takoyaki bagianku jangan dimakan!” teriak Valeriana saat ia baru menyadari kotak miliknya sudah berpindah tangan ke Yuuta. Sedangkan Yuuta yang sama sekali tidak merasa bersalah terus saja melahap takoyaki itu walaupun Valeriana berusaha merebutnya.
“Aku lapar~ aku ini masih dalam tahap pertumbuhan lho.” kata Yuuta. Valeriana sweatdrop. ==a
Dziiigh!
“Minumlah yang banyak. Orang yang masih dalam tahap pertumbuhan itu butuh cairan lebih untuk tubuhnya…” Valeriana tersenyum puas setelah menendang Yuuta jatuh ke dalam air mancur.
“Aih… dingin sekali.”
“Salahmu sendiri.”
“Tapi… Akhirnya kau bisa juga memilih pakaian untukmu sendiri.” Yuuta memperhatikan Valeriana dengan seksama dari atas sampai bawah. Syukurlah tidak ada yang aneh, pikir Yuuta lega.
“Te-tentu saja! Sudah kubilang aku ini tidak seburuk yang kau pikirkan!” Valeriana melirik Yuuta yang masih memperhatikannya. Entah kenapa, diperhatikan seperti itu oleh Yuuta membuat wajahnya merona untuk ke sekian kalinya hari ini. Valeriana menggelengkan kepalanya berusaha menjernihkan pikirannya. Sepertinya memang ada yang salah dengan dirinya.
“Su-sudahlah! Aku mau pergi sekarang juga dari kota ini! Kau masih tetap ingin ikut atau tidak?” tanya Valeriana pada Yuuta. Pemuda berambut perak itu hanya menatapnya kemudian tersenyum. Senyuman pertama yang dilihat Valeriana dari seorang Yuuta.
“Baik Tuan Putri, kemana pun yang anda mau.”
***
“Shouko-sama, ini…” pemuda bermata merah itu kini menatap seonggok tubuh tanpa kepala di depannya. Darah masih mengucur deras dari lehernya yang terbuka. Namun tidak nampak sama sekali potongan kepalanya di sekitar mereka. Hiromu memperhatikan mayat tanpa kepala itu dengan pedang di tangannya yang masih bersih. Sedangkan gadis berambut coklat di samping Hiromu menggeram kesal dan mengepalkan tangannya dengan kuat.
“Siapa… Siapa yang sudah mengincar mangsaku dan membawa kepalanya dengan seenaknya??” Shouko mencengkram gaun hitamnya dengan marah. “Aku tidak bisa mengambil mimpinya jika bagian tubuhnya tidak lengkap! Padahal aura sihir orang ini sudah memenuhi standar yang bisa dijadikan korbanku!”
“Wajar saja kalau ada orang lain yang mengincarnya. Orang ini termasuk salah satu buronan yang diincar para Pemburu Buronan.” ucap Hiromu dingin dengan matanya yang sudah kembali biru kemudian mengambil sebuah poster buronan yang tergeletak di samping mayat itu. Wajah yang terpampang dalam poster itu mempunyai sebuah bekas luka yang panjang di pipi bagian kirinya.
“Sayang sekali ya, Shouko.” kata Hiromu tersenyum. Shouko masih menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di depannya dengan tatapan amarah. Namun ia segera menenangkan dirinya dan menarik napas panjang (tidak lupa kemudian menghembuskannya *plak*).
“Aku masih bisa mencari korban yang lainnya. Tidak perlu terburu-buru. Aku kan belum ingin berpisah denganmu Hiromu.” sahut Shouko dengan tenang lalu memasang senyum di wajahnya. Ia memandang Hiromu yang membalasnya dingin. “Fufufu…Daripada itu, bagaimana dengan reuni mu? Apakah menyenangkan?”
Begitu mendengar perkataan Shouko, Hiromu langsung tersentak dan teringat dengan hal yang menganggu pikirannya sejak tadi. Ia berjalan ke arah Shouko dan menarik kerah gaunnya sehingga tubuh kecil gadis itu sedikit terangkat naik. Namun Shouko tetap tenang dan tidak bergeming sama sekali. Ia malah menyeringai melihat reaksi Hiromu.
“Apa maksudmu? Bukankah dalam perjanjian kita hanya aku yang dihapus?! Tapi kenapa Yuuta juga?!” Shouko hanya tersenyum mendengar Hiromu yang marah.
“Benarkah? Apakah waktu itu kau tidak membaca baik-baik perjanjiannya? Ah… Mungkin matamu waktu itu sudah dibutakan oleh bayangan kematiannya ya… Sampai-sampai kau tidak menyadari kalau aku juga menyusupkan sebuah nama lagi.” Gadis bermata ruby itu kemudian tertawa kecil setelah mengakui perbuatannya.
“Kau… Apa lagi yang kau tulis tanpa sepengetahuanku?”
“Tenanglah, aku hanya menyusupkan nama Yuuta saja. Lagi pula kan tinggal 6 orang lagi kau bisa kembali pada Valeriana-mu itu.” ucap Shouko. Lalu ia melepaskan genggaman tangan Hiromu dari kerah gaunnya dengan paksa sehingga kakinya sudah bisa mendarat lagi di tanah.
“Tapi kenapa Yuuta?” pertanyaan Hiromu membuat Shouko terdiam memandang tanah.
“Tidak ada apa-apa. Hanya menarik saja. Aku ingin tahu bagaimana Valeriana tanpa kalian berdua.” balas Shouko acuh tak acuh. Ia membalikkan badannya memunggungi Hiromu. Ia mengangkat tangannya dan memutarnya di udara di depannya sampai terbentuk sebuah lingkaran yang hitam pekat.
“Bukankah Valeriana adalah sahabatmu?” perkataan Hiromu kali ini berhasil membuat tangan Shouko terhenti dari gerakannya dan terdiam sesaat.
“Ya, dia adalah sahabatku.” ucap Shouko tersenyum menoleh pada Hiromu lalu berjalan masuk ke dalam lingkaran hitam yang ia buat.
“Valeriana, sahabat ku tercinta. Tentu saja.” Perlahan-lahan tubuh Shouko mulai dikelilingi kegelapan.
“Jangan-jangan, kau… iri padanya?” Hiromu menatap Shouko yang kemudian menghilang ditelan kegelapan. Pemuda itu pun kini hanya memandang kosong udara di depannya.
***
“Sial. Lagi-lagi kalah cepat denganmu.” gerutu pemuda berambut cokelat itu. Ia menatap gadis di depannya yang dengan santai menenteng sebuah bungkusan berbentuk bulat.
“Sudah kubilang. Kau itu lamban, Ao.” sahut Chazz tidak mempedulikan tatapan orang di belakangnya yang sudah menusuk-nusuk punggungnya.
“Aku tidak lamban. Aku hanya kalah cepat.” ucap Ao masih tidak mau mengakui pernyataan Chazz.
“Sekali lamban ya tetap saja lamban.”
“Aku tidak lamban!! Kau ini…”
Duk!
Ao menabrak Chazz yang menghentikan langkahnya tiba-tiba.
“Hei, kenapa kau?” tanya Ao lalu memperhatikan wajah Chazz yang memucat. Gadis itu kemudian menoleh ke belakang, seperti merasakan suatu hawa yang mengerikan berasal dari tempat yang baru saja ditinggalkannya.
“Chazz? Kau baik-baik saja?” tanya Ao khawatir. Chazz pun sedikit tersentak lalu memalingkan wajahnya dan menatap Ao.
“Ya, tidak apa-apa. Ayo cepat kita tukarkan kepala ini sebelum dia kabur.” ucap Chazz kemudian melanjutkan perjalanannya.
“Haha, lucu sekali kalau kepala itu bisa kabur.” sahut Ao lalu menyamakan langkahnya dengan Chazz. Tanpa mereka sadari, sepasang mata ruby kini telah mengawasi mereka.
“Jadi gadis itu yang telah mengambil korbanku.” ucap gadis pemilik mata ruby itu tersenyum. “Fufufu… Tunggu saja pembalasanku dari ku.”
-to be continued-
by : Hana Kisaragi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar